Pemilu vis a vis Perubahan


Iklim politik 2009 diprediksikan akan sangat panas. Pemilu legislatif dan pemilihan presiden akan menjadi hajatan besar bangsa Indonesia pada tahun ini. Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, hajatan ini akan melibatkan sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat akan menjadi subjek pemilih dan penentu pemenang pemilu tahun ini, sekaligus juga jadi objek kampanye dan janji-janji manis parpol dan capres.

Tak seperti beberapa kali pemilu di masa orde baru yang tak menjanjikan apa-apa -karena yang menang selalu itu-itu saja-, sejak era reformasi pemilu dianggap memberi harapan perubahan. Harapan tentang negeri yang bebas dari KKN, negeri yang rakyatnya makmur dan sejahtera, harga-harga terjangkau, pekerjaan mudah didapatkan, dan berbagai gambaran surgawi lainnya terasa dekat di benak rakyat kecil sejak reformasi berkumandang. Harapan-harapan itu pula yang menjadi 'jualan' parpol dan capres pada pemilu 1999 dan 2004. Dan 2009, sepertinya komoditas tersebut tetap laku dijual dan ramai dipasarkan, walau tak pernah benar-benar terwujud di alam nyata.

Seperti tak pernah jera, rakyat tetap mau terlibat dalam proyek demokrasi yang sangat mahal ini. Walau tak pernah benar-benar mendapatkan hasil yang mereka harapkan, mereka tetap antusias dengan momen pemilu. Mungkin, bagi sebagian besar rakyat, pemilu memang benar-benar 'pesta rakyat'. Seperti laiknya pesta, kesenangannya hanya sesaat. Sesaat ketika pesta itu berlangsung, dan akan segera berakhir ketika pesta tersebut berakhir. Rakyat barangkali sudah tak menganggap pemilu akan benar-benar mampu mewujudkan harapan mereka. Mereka hanya menjadikan pemilu sebagai momen untuk meninggalkan rutinitas mereka dan ikut larut dalam pesta walau sesaat saja. Mereka tak punya kesempatan, bahkan untuk kembali bermimpi bahwa harapan perubahan ke arah yang lebih baik tetap ada.

Bagi kalangan yang biasanya disebut akar rumput, ikut pemilu mungkin sebuah keharusan. Minimal untuk meninggalkan rutinitas dan berpesta sesaat atau mencoba berharap bahwa harapan-harapan mereka akan terwujud dari pemilu ini. Tapi, bagi kalangan intelektual, tak cukup berpikir sesederhana itu. Seorang intelektual tak bisa dikungkung dengan pemikiran sempit bahwa perubahan hanya bisa dilakukan melalui pemilu. Terlalu naif dan terkesan tak menggunakan daya pikir dan nalarnya secara optimal.

Ada 2 pendekatan untuk menunjukkan bahwa kita sudah tak bisa lagi berharap dari pemilu. Pertama, pendekatan sosio-historis. Mari kita baca sejarah tentang negara-negara modern di dunia ini. Jarang sekali perubahan besar terjadi pada negara-negara tersebut yang berasal dari pemilu atau sistem legal formal di negara tersebut. Sejak Amerika Serikat berdiri pada abad ke-18, pemilu yang rutin mereka selenggarakan hanya semakin memperkuat sistem kapitalis yang menjadi ruh negara tersebut. Bahkan 'CHANGE' yang diusung Barack Obama hanya merupakan komoditas basi yang laku dijual pada orang-orang idiot. Kita mungkin juga perlu membaca tentang sejarah Revolusi Prancis, Revolusi Industri di Inggris, Revolusi Bolshevik dan berbagai revolusi lainnya yang jelas menunjukkan perubahan tersebut terjadi dari luar sistem. Tak perlu jauh-jauh, membaca sejarah Republik Indonesia saja, kita akan melihat bahwa perubahan besar memang hanya terjadi dari luar sistem. Tiga perubahan besar yang saya catat dalam sejarah Republik Indonesia yaitu masa proklamasi, perpindahan dari orde lama ke orde baru dan reformasi, semuanya berasal dari luar parlemen dan tidak didapatkan dari pemilu.

Kedua, pendekatan sistemik. Kita harus memahami bahwa ada dua instrumen dalam mewujudkan sebuah perubahan. Instrumen pertama adalah person. Individu. Inilah yang kemudian menjadi salah satu landasan dikeluarkannya fatwa MUI tentang Pemilu. MUI memahami bahwa kepemimpinan dalam Islam sangatlah penting. Islam dan negara tidak boleh terpisah. Dalam hal ini, fatwa tersebut harus diacungi jempol karena menyerukan umat Islam untuk memilih pemimpin sesuai syarat yang ditetapkan syariat. Tak ada yang salah dengan syarat-syarat tersebut. Permasalahannya adalah, ada instrumen lain yang perlu diperhatikan jika kita memang benar-benar berharap negeri ini menjadi negeri yang diberkahi Allah. Instrumen tersebut adalah sistem yang baik. Individu shalih tak cukup untuk memperbaiki negeri ini jika sistemnya tetap sistem yang buruk. Dan pemilu ternyata tak pernah memberi kita kesempatan untuk merubah sistem yang buruk tersebut.

 

Hizbut Tahrir Indonesia

INSISTS Official Site

Jurnal Ekonomi Ideologis