Pemilu vis a vis Perubahan


Iklim politik 2009 diprediksikan akan sangat panas. Pemilu legislatif dan pemilihan presiden akan menjadi hajatan besar bangsa Indonesia pada tahun ini. Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya, hajatan ini akan melibatkan sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat akan menjadi subjek pemilih dan penentu pemenang pemilu tahun ini, sekaligus juga jadi objek kampanye dan janji-janji manis parpol dan capres.

Tak seperti beberapa kali pemilu di masa orde baru yang tak menjanjikan apa-apa -karena yang menang selalu itu-itu saja-, sejak era reformasi pemilu dianggap memberi harapan perubahan. Harapan tentang negeri yang bebas dari KKN, negeri yang rakyatnya makmur dan sejahtera, harga-harga terjangkau, pekerjaan mudah didapatkan, dan berbagai gambaran surgawi lainnya terasa dekat di benak rakyat kecil sejak reformasi berkumandang. Harapan-harapan itu pula yang menjadi 'jualan' parpol dan capres pada pemilu 1999 dan 2004. Dan 2009, sepertinya komoditas tersebut tetap laku dijual dan ramai dipasarkan, walau tak pernah benar-benar terwujud di alam nyata.

Seperti tak pernah jera, rakyat tetap mau terlibat dalam proyek demokrasi yang sangat mahal ini. Walau tak pernah benar-benar mendapatkan hasil yang mereka harapkan, mereka tetap antusias dengan momen pemilu. Mungkin, bagi sebagian besar rakyat, pemilu memang benar-benar 'pesta rakyat'. Seperti laiknya pesta, kesenangannya hanya sesaat. Sesaat ketika pesta itu berlangsung, dan akan segera berakhir ketika pesta tersebut berakhir. Rakyat barangkali sudah tak menganggap pemilu akan benar-benar mampu mewujudkan harapan mereka. Mereka hanya menjadikan pemilu sebagai momen untuk meninggalkan rutinitas mereka dan ikut larut dalam pesta walau sesaat saja. Mereka tak punya kesempatan, bahkan untuk kembali bermimpi bahwa harapan perubahan ke arah yang lebih baik tetap ada.

Bagi kalangan yang biasanya disebut akar rumput, ikut pemilu mungkin sebuah keharusan. Minimal untuk meninggalkan rutinitas dan berpesta sesaat atau mencoba berharap bahwa harapan-harapan mereka akan terwujud dari pemilu ini. Tapi, bagi kalangan intelektual, tak cukup berpikir sesederhana itu. Seorang intelektual tak bisa dikungkung dengan pemikiran sempit bahwa perubahan hanya bisa dilakukan melalui pemilu. Terlalu naif dan terkesan tak menggunakan daya pikir dan nalarnya secara optimal.

Ada 2 pendekatan untuk menunjukkan bahwa kita sudah tak bisa lagi berharap dari pemilu. Pertama, pendekatan sosio-historis. Mari kita baca sejarah tentang negara-negara modern di dunia ini. Jarang sekali perubahan besar terjadi pada negara-negara tersebut yang berasal dari pemilu atau sistem legal formal di negara tersebut. Sejak Amerika Serikat berdiri pada abad ke-18, pemilu yang rutin mereka selenggarakan hanya semakin memperkuat sistem kapitalis yang menjadi ruh negara tersebut. Bahkan 'CHANGE' yang diusung Barack Obama hanya merupakan komoditas basi yang laku dijual pada orang-orang idiot. Kita mungkin juga perlu membaca tentang sejarah Revolusi Prancis, Revolusi Industri di Inggris, Revolusi Bolshevik dan berbagai revolusi lainnya yang jelas menunjukkan perubahan tersebut terjadi dari luar sistem. Tak perlu jauh-jauh, membaca sejarah Republik Indonesia saja, kita akan melihat bahwa perubahan besar memang hanya terjadi dari luar sistem. Tiga perubahan besar yang saya catat dalam sejarah Republik Indonesia yaitu masa proklamasi, perpindahan dari orde lama ke orde baru dan reformasi, semuanya berasal dari luar parlemen dan tidak didapatkan dari pemilu.

Kedua, pendekatan sistemik. Kita harus memahami bahwa ada dua instrumen dalam mewujudkan sebuah perubahan. Instrumen pertama adalah person. Individu. Inilah yang kemudian menjadi salah satu landasan dikeluarkannya fatwa MUI tentang Pemilu. MUI memahami bahwa kepemimpinan dalam Islam sangatlah penting. Islam dan negara tidak boleh terpisah. Dalam hal ini, fatwa tersebut harus diacungi jempol karena menyerukan umat Islam untuk memilih pemimpin sesuai syarat yang ditetapkan syariat. Tak ada yang salah dengan syarat-syarat tersebut. Permasalahannya adalah, ada instrumen lain yang perlu diperhatikan jika kita memang benar-benar berharap negeri ini menjadi negeri yang diberkahi Allah. Instrumen tersebut adalah sistem yang baik. Individu shalih tak cukup untuk memperbaiki negeri ini jika sistemnya tetap sistem yang buruk. Dan pemilu ternyata tak pernah memberi kita kesempatan untuk merubah sistem yang buruk tersebut.
Selengkapnya...

Kapitalisasi Media Massa


Media massa sebagai salah satu pilar masyarakat modern, semakin memiliki peran dalam penanaman nilai-nilai terhadap masyarakat. Fakta empiris menunjukkan, objektifitas media massa merupakan hal yang nisbi, malah fakta berbicara bahwa setiap media massa, baik cetak maupun elektronik, mempunyai visi dan misi tersendiri yang mempengaruhi pemberitaan di media massa tersebut. Visi dan misi setiap media massa, yang tentu dibuat oleh pemilik media massa tersebut, acapkali terpengaruh oleh satu ideologi tertentu. Media massa kemudian dijadikan corong untuk menanamkan ideologi tersebut di masyarakat melalui pemberitaan atau wacana yang dikembangkan dari sudut pandang ideologi tersebut.

Menurut William L. Rivers dan kawan-kawan (Rivers, 2003) hubungan antara kondisi dunia dan media massa sangat erat dan saling mempengaruhi. Teori ini secara kasat mata dapat kita buktikan dengan melihat berbagai jenis media massa yang sekarang sedang menjamur. 10 televisi swasta nasional Indonesia semuanya menganut ideologi kapitalis sekuler, sama dengan ideologi yang sekarang sedang menguasai dunia. Tampak sekali kalau stasiun TV di Indonesia sangat terpengaruh dengan pola pikir Kapitalisme. Ini terlihat dari tayangan-tayangan yang hanya mementingkan pemasukan tanpa memikirkan dampak buruknya bagi masyarakat. Sinetron tak berkualitas dan sarat mistik, infotainment yang menjual hedonisme dan perceraian artis, bahkan berita yang menyajikan informasi yang tak berimbang menghiasi televisi kita dari pagi sampai malam hari.

Media cetak, yang bagi sebagian kalangan dianggap masih menyisakan idealisme, ternyata setali tiga uang. Walaupun media cetak lebih bersifat informatif dan sedikit sekali berisi hal-hal yang tak mutu, tetapi tetap saja pengaruh ideologi kapitalis sekuler sangat terasa. Hal ini sangat jelas terlihat dari hasil pemberitaan yang mereka informasikan atau opini yang mereka wacanakan yang hanya berasal dari sudut pandang tertentu yaitu kapitalisme sekuler. Sebagai contoh, dalam kasus terorisme Amrozi cs, media cetak, baik lokal maupun nasional bahkan internasional, secara serempak menuding Amrozi cs sebagai dalang Bom Bali I. Tak berimbang dengan informasi yang menunjukkan keanehan persidangan yang terjadi pada mereka maupun informasi yang menunjukkan bahwa banyak pakar yang tak percaya kalau Amrozi cs pelaku Bom Bali I sebenarnya. Contoh lain adalah dalam kasus Insiden Monas. Hampir semua media menunjuk Munarman dan Habib Riziq beserta FPI sebagai dalang insiden tersebut. Sesuatu yang sebenarnya lebih merupakan opini yang dihembuskan, bukan fakta.

Berbagai fakta diatas jelas menunjukkan kalau media bukanlah institusi yang bebas nilai. Media, seperti pendapat Rivers cs, dipengaruhi oleh kondisi dunia, yang sekarang didominasi oleh ideologi kapitalisme sekuler. Bahkan, lebih dari itu, media bukan hanya terpengaruh oleh kapitalisme sekuler, mereka juga merupakan salah satu ujung tombak dari ideologi tersebut. Peran media massa sekarang bahkan bisa dirasakan sebagai bagian terpenting dari penetrasi ideologi tersebut di tengah-tengah masyarakat. Daya jangkau media yang hampir meliputi seluruh wilayah dunia dan akses terhadap media yang begitu cepat didapatkan oleh masyarakat dunia termasuk Indonesia, menunjukkan begitu pentingnya peran media massa dalam penetrasi ideologi.

Hegemoni kapitalisme pada media massa tentu merupakan hal yang menyesakkan bagi setiap orang yang meyakini ideologi yang berbeda. Pemilik media massa yang mengusung kapitalisme dan sekularisme tentu tak akan memberikan kesempatan ideologi lain berwacana dengan bebas di media milik mereka. Paling banter, ideologi berbeda diberikan kesempatan berwacana tetapi kemudian langsung dibunuh melalui wacana lain yang bertentangan.

Ini sangat terlihat pada televisi yang fokus kepada berita. Wacana Syariah Islam diberikan kesempatan tampil di media mereka, tapi kemudian langsung diserang balik dengan kekuatan wacana yang lebih kuat dan waktu siar yang lebih banyak. Ini juga terjadi di media cetak dengan tidak berimbangnya berita yang ditayangkan. Insiden Monas, sebagai sebuah contoh, tak pernah diinformasikan secara komprehensif, misalnya tentang provokasi kalangan AKKBB terhadap massa Laskar Islam atau anggota AKKBB yang membawa senjata api tak pernah ditunjukkan secara jelas. Ini sangat wajar karena media tersebut dengan AKKBB merupakan pihak yang sama-sama menginginkan tertancap kuatnya ideologi kapitalis sekuler di tengah-tengah masyarakat.

Maka, bagi kalangan yang menginginkan berakhirnya hegemoni kapitalisme di dunia dan di Indonesia serta meyakini Islam sebagai sebuah ideologi yang akan memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia, tentu keberadaan banyak media yang pro ideologi Islam adalah sebuah keharusan. Jumlah media Islam dan media kapitalis yang berimbang tentu akan semakin meramaikan pertarungan ideologi dan masyarakat akan semakin mampu melihat ideologi mana yang pantas mereka jadikan pandangan hidup.
Selengkapnya...

An Introduction To Khilafah Islamiyah


Islam sebagai sebuah ideologi, tidak hanya mengatur persoalan ritual belaka. Tidak seperti agama lainnya, Islam secara komprehensif mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesama manusia. Ideologi Islam, seperti ideologi-ideologi yang lain akan berusaha melahirkan sebuah peradaban yang berasal dari ideologi tersebut. Ideologi Islam juga tentu akan berusaha mewujudkan sebuah negara yang akan menerapkan ideologi tersebut.

Fakta empiris menunjukkan bahwa ideologi Islam bukan hanya terkungkung pada konsep, tetapi telah terbukti mampu menjadi sebuah ideologi yang memimpin dunia tatkala ia diterapkan dan disebarkan oleh kekuatan besar, yaitu Daulah Islamiyah. Daulah Islamiyah atau Negara Islam pertama kali didirikan oleh Rasulullah SAW pasca hijrah beliau ke Madinah, pada tanggal 12 Rabiul Awal atau bertepatan dengan tanggal 23 September 622 M. Negara ini terus berlanjut setelah wafatnya Rasulullah SAW dengan format Khilafah Islamiyah. Kepemimpinan Khilafah Islamiyah terus berlanjut dengan kegemilangannya, sampai diruntuhkan oleh kaki tangan Inggris, Mustafa Kemal Pasha, di Turki pada tanggal 3 Maret 1924 M.

Walaupun sekarang Khilafah Islamiyah sudah tidak ada, perjuangan penegakan kembali Khilafah Islamiyah tetap kencang diupayakan oleh umat Islam di seluruh dunia. Hal ini wajar, paling tidak karena dua alasan. Pertama, keberadaan Khilafah Islamiyah merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam, dan meruntuhkannya merupakan sebuah dosa yang teramat besar. Keberadaan Khilafah, merupakan keniscayaan agar Syariah Islam bisa diterapkan di muka bumi. Allah SWT berfirman: “Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (QS Al Maa`idah: 48).

Dalil dari Al-Qur’an ini semakin diperkuat dengan dalil dari As-Sunnah yang menekankan pentingnya bai’at kepada seorang Khalifah, dan dalil dari Ijma’ Shahabat yang menegaskan kewajiban mewujudkan Khilafah Islamiyah dan mengangkat seorang Khalifah bagi seluruh umat Islam. Ijma’ Shahabat ini terbukti dari penangguhan mereka dalam prosesi pemakaman Rasulullah SAW untuk memilih Khalifah, sebagai kepala Negara Islam, pengganti Rasulullah SAW.

Kedua, Tiadanya Khilafah Islamiyah menyebabkan umat Islam mengalami kondisi yang sangat mengenaskan yang belum pernah dialami sebelumnya. Berbagai fakta bisa kita runut, dimulai dari keterpecahan umat Islam kedalam puluhan negara bangsa (nation state) yang berdiri sendiri, masing-masing tak peduli terhadap kondisi umat Islam di negara lain. Kemudian diusirnya rakyat Palestina dari tanah airnya oleh Zionis Israel pada 1948. Penjajahan kaum kuffar di berbagai negeri Islam, seperti di Palestina, Bosnia, Iraq, Afghanistan, dan negeri-negeri Islam lainnya. Umat Islam tanpa Khilafah terus mengalami kemunduran di hampir seluruh aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Umat Islam juga terus disudutkan dengan berbagai tuduhan yang tak berdasar, seperti sebagai pelaku terorisme. Umat Islam yang ingin menjalankan ajaran agamanya secara sempurna dituduh berideologi setan dan menjadi cikal bakal pelaku teror, sedangkan AS dan negara-negara Eropa yang menjadi penyebab Perang Dunia 1 dan 2, otak dibalik berbagai konflik dan peperangan di Amerika Selatan, Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah serta pembunuh jutaan manusia di Palestina, Bosnia, Iraq dan Afghanistan dianggap sebagai pahlawan pembela HAM dan Demokrasi.

Bahkan lebih dari itu, keberadaan Khilafah Islamiyah sebagai pusat dan pemimpin peradaban dunia tidak hanya demi kebaikan umat Islam tetapi kebaikan bagi seluruh manusia. Hal ini sesuai dengan konsep Islam yang rahmatan lil ‘Alamin. Keterpurukan dunia saat ini bukan hanya dirasakan oleh umat Islam tapi juga hampir seluruh umat manusia, kecuali segelintir kapitalis. Krisis global yang terjadi sekarang bahkan berimbas ke negara-negara Eropa dan Amerika yang bukan negeri Islam dan konon tahan terhadap krisis. Jika Khilafah tegak, maka krisis semacam ini tak akan terjadi lagi karena Islam punya sistem keuangan yang berbasis emas dan perak yang jauh lebih stabil daripada uang kertas.

Khilafah juga akan menjamin kesejahteraan dan keadilan untuk seluruh warga negaranya, baik muslim maupun non muslim. Bahkan dalam sejarah dunia, hanya Khilafah yang benar-benar membuktikan toleransi umat beragama ketika umat Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun di bawah naungan Khilafah Islamiyah.
Selengkapnya...

Jujur Melihat Sejarah Umat Islam


Sejarah sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, selalu menarik untuk dikaji. Sejarah, menurut para pakar, merupakan peristiwa masa lalu yang tidak hanya bercerita tentang peristiwa masa lalu tetapi juga memberi interpretasi atas peristiwa yang terjadi. Tentu bagi kita, bagian sejarah yang paling menarik adalah sejarah umat Islam. Sejarah umat Islam, yang tidak hanya berisi tahun-tahun penting tetapi juga berisi gambaran peradaban dan pemikiran Islam yang berkembang setiap masa, memang sering coba ditutup-tutupi. Tetapi tetap saja, sejarah umat Islam selalu menjadi bahan kajian yang hangat untuk didiskusikan.

Dalam menyikapi sejarah umat Islam, umat Islam sekarang terbagi menjadi 3 kelompok besar. Kelompok pertama adalah yang melihat sejarah umat Islam sebagai sejarah kegemilangan dan kejayaan semata. Orang-orang ini berpandangan bahwa sepanjang belasan abad sejarah umat Islam, sejak Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul sampai sekarang, tidak ada noda yang berarti dalam sejarah umat Islam. Mereka berpandangan bahwa sejarah umat Islam dicatat dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban, penemuan-penemuan, futuhat yang menunjukkan kehebatan umat Islam serta keadilan dan kesejahteraan. Mereka tak menemukan alasan untuk menyatakan bahwa sejarah umat Islam pernah mengalami cacat.

Kelompok yang kedua bertolak belakang 180 derajat dengan kelompok pertama. Mereka beranggapan bahwa sejarah umat Islam tak benar-benar indah. Sejarah umat Islam tak melulu berisi keindahan penerapan syariah atau kemajuan ilmu pengetahuan, mereka bahkan lebih melihat sejarah umat Islam berisi darah, pembunuhan dan konspirasi. Argumen yang sering mereka kemukakan adalah bahwa banyaknya dinasti dalam perjalanan panjang umat Islam selalu berisikan permusuhan dan pertentangan politik.

Kelompok kedua ini utamanya adalah kalangan cendekiawan liberal. Sudah lazim kita kenal, mereka selalu berupaya untuk menghalang-halangi upaya penerapan Syariah Islam. Dan bagi mereka, sejarah umat Islam merupakan salah satu cara untuk menggolkan upaya mereka tersebut. Dengan mengopinikan keburukan sejarah umat Islam pada masa Khilafah Islam, mereka ingin mengatakan kepada umat Islam bahwa Khilafah tak selalu berisi keadilan dan Syariah Islam tak selalu menghasilkan kesejahteraan.

Bahkan, demi upaya ini, seorang Azyumardi Azra yang kita kenal sebagai Pakar Sejarah Islam, memberi apresiasi tinggi terhadap Faraq Fouda. Faraq Fouda yang menulis buku fitnah terhadap Utsman bin Affan, berjudul: “Al-Haqiqah Al-Ghaybah” (edisi Indonesianya berjudul: “Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin”), dipuji setinggi langit oleh Azyumardi Azra. Padahal, banyak sekali kelemahan fundamental dalam penulisan buku tersebut. Kelemahan yang paling mendasar menurut Asep Sobari, Lc, peneliti bidang sejarah INSISTS, adalah Faraq Fouda menggunakan sumber riwayat yang lemah bahkan tak jelas dalam membangun argumentasinya (Asep Sobari, Memuja Fouda, Memfitnah Sahabat, Insists Official Site).

Kita tentu bingung terhadap sikap Azyumardi Azra ini. Seorang pakar sejarah Islam, hanya demi menunjukkan secara kasar sisi kelam sejarah umat Islam, harus memberi apresiasi kepada buku yang bahkan tak memenuhi kaidah dan standar ilmiah. Tapi, inilah manhaj kaum liberal. Mereka tak segan-segan menggunakan segala cara untuk menunjukkan keburukan dan kebobrokan sejarah umat Islam.

Kelompok ketiga yang menyikapi sejarah umat Islam adalah kelompok yang berusaha sangat objektif menilai sejarah umat Islam. Mereka, tak seperti kelompok pertama, mengakui dalam perjalanan panjang sejarah umat Islam terdapat kisah kelam dan mengerikan yang tak patut dicontoh. Kekejaman Al-Makmun terhadap para Ulama yang tak mau mengakui Al-Qur’an sebagai makhluk dan berbagai peperangan karena kepentingan politik tetap mereka akui sebagai bagian dan mewarnai sejarah umat Islam.

Tetapi, tak seperti kelompok kedua, mereka masih mengakui bahwa sejarah umat Islam memiliki banyak sisi terang yang mampu menutupi sisi kelam tersebut. Sejarah umat Islam mampu melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Imam Syafi’i, Al-Khawarizmi atau Muhammad Al-Fatih. Dan yang paling penting, mereka secara objektif mengatakan bahwa sejarah umat Islam merupakan fase sejarah paling gemilang yang pernah dialami umat manusia.

Bagi kita, tentunya sikap yang dikembangkan kelompok ketiga inilah yang paling tepat. Sejarah setiap bangsa dan umat manusia, tentulah berisi dua sisi, sisi kelam dan sisi terang, termasuk sejarah umat Islam. Yang paling penting bagi kita adalah bagaimana kita mampu belajar dari sejarah. Peristiwa kelam yang terjadi pada umat Islam masa lampau tentu tak ingin kita ulangi lagi. Sebaliknya, catatan gemilang yang begitu banyak dimiliki oleh sejarah umat Islam tentu akan kita usahakan untuk terus kita ulangi.
Selengkapnya...

Islam, Antara Agama dan Ideologi


Islam, sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia sekarang sedang menjadi bahan perdebatan yang menarik. Setelah beberapa tokoh dan gerakan Islam, menyebutkan bahwa Islam bukan cuma sekedar agama tapi juga merupakan sebuah ideologi. Seandainya perdebatan tersebut cuma seputar istilah dan bahasa tentu tidak akan terlalu bermasalah dan juga tidak terlalu penting untuk didiskusikan. Tetapi perbedaan cara pandang terhadap Islam tersebut pasti akan melahirkan konsekuensi baik bagi yang menyatakan Islam adalah sebuah ideologi atau Islam hanyalah sebuah agama.

Istilah ideologi, kalau ditilik dari sumbernya memang merupakan istilah baru dalam khazanah keislaman. Ideologi, atau dalam bahasa Arabnya disebut idiyuluji atau mabda’ seperti halnya beberapa istilah lain seperti aqidah, dharibah (pajak), dustur (UUD) dan qanun (UU) merupakan istilah serapan yang akhirnya diadopsi oleh kaum muslimin karena mengandung makna yang tepat terhadap berbagai khazanah Islam yang ada.

Ideologi atau mabda’ merupakan pemikiran paling mendasar, yang tidak dibangun dari pemikiran yang lain. Pemikiran seperti ini hanya ada pada pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum dan sesudahnya, juga hubungan antara ketiga unsur tersebut dengan apa yang ada sebelum dan sesudahnya (Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islamy, hal: 9-10). Ideologi juga didefinisikan sebagai aqidah aqliyah (aqidah yang lahir dari sebuah proses berpikir/aqidah yang rasional) yang melahirkan nizham (peraturan) (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Al-Islam, hal: 24).

Aqidah Islam kita yakini sebagai sebuah pemikiran mendasar yang lahir dari sebuah proses berpikir. Aqidah Islam mengajarkan bahwa yang ada sebelum kehidupan ini adalah Allah SWT, Sang Pencipta. Sesudah kehidupan dunia ini akan ada hari kiamat, surga dan neraka. Dan bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini akan dihisab oleh Allah SWT di padang mahsyar kelak. Keyakinan terhadap aqidah Islam akan melahirkan keterikatan terhadap berbagai aturan syariat Islam. Karena syariat yang lahir dari aqidah Islam itulah yang akan menjadi standar oleh Allah untuk meminta pertanggungjawaban seluruh manusia pada saat mereka menjalani kehidupan dunia di akhirat kelak. Dari penjelasan ini, sangat jelas bahwa Islam sesuai dengan definisi ideologi dan wajarlah Islam disebut sebagai sebuah ideologi.

Munculnya istilah ideologi, khususnya istilah Ideologi Islam atau Islam ideologi merupakan hal yang wajar sebagai respon terhadap pendistorsian makna agama atau dien. Makna dien dalam khazanah bahasa Arab diartikan sebagai nizham al-hayah (sistem kehidupan) sesuai dengan firman Allah SWT:

”Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Aku cukupkan untuk kamu nikmat-Ku, serta Aku ridhai Islam sebagai agama (
dien) kamu.” (Al-Maidah: 3).

”Dan Kami turunkan kepada kamu Kitab ini untuk menerangkan semua perkara.” (An-Nahl: 89).

Sekarang, agama dimaknai dengan makna yang sempit hanya sebagai ajaran ritual yang tak punya aturan tentang kehidupan dunia. Agama tak boleh diberi ruang untuk mengatur kehidupan dunia. Pandangan seperti ini bukanlah pandangan yang bebas nilai. Pandangan ini lahir dari aqidah sekularisme yang bertujuan memisahkan agama dengan kehidupan. Dan berdasarkan fakta historis, sekularisme lahir sebagai reaksi atas kekuasaan kaum gerejawan di Eropa yang membuat bangsa Eropa Kristen terpuruk dan lemah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Fakta kelemahan Kristen dalam mengatur kehidupan dunia kemudian dipaksakan ke semua agama termasuk Islam. Ini terlihat dari pernyataan Abdul Moqsith Ghazali bahwa Islam bukanlah sebuah sistem. Islam lebih merupakan kerangka etik moral yang bukan merupakan sistem, karena sistem itu harus dibentuk oleh manusia bukan Islam (dikutip dari situs Jaringan Islam Liberal: Islamlib.com).

Ketika satu agama tak mampu mengatur masalah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, lalu hal ini digeneralisir ke semua agama, termasuk Islam. Pernyataan ini tentulah sesuatu yang ahistoris. Ketika bangsa Eropa Kristen dalam masa kegelapan (dark age), umat Islam malah telah sangat maju di bidang sains dan teknologi dengan hanya menjadikan Islam sebagai aturan bagi kehidupan mereka. Ini yang sering luput dari pengamatan kita.

Ketika istilah agama didistorsi sedemikian rupa, wajar kalau umat Islam mengambil istilah ideologi, yang lebih sesuai dengan makna Islam yang sebenarnya. Islam yang didefinisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan dirinya dan dengan sesamanya (Hafidz Abdurrahman, Islam Politk dan Spiritual, hal: 1) sangat tepat dimasukkan sebagai sebuah ideologi karena berasal dari sebuah pemikiran mendasar yang rasional yaitu aqidah Islam dan memiliki peraturan dalam semua aspek kehidupan.

Islam ketika dimaknai sebagai sebuah ideologi tentu akan berbeda dengan Islam yang hanya dimaknai sebagai agama ritual belaka. Ideologi Islam, seperti ideologi-ideologi yang lain akan berusaha melahirkan sebuah peradaban yang berasal dari ideologi tersebut. Sebuah ideologi juga tentu akan berusaha untuk mewujudkan sebuah negara yang akan menerapkan ideologi tersebut (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Al-Islam, hal: 12-13).

Sekarang, seperti kata Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam At-Takattul Al-Hizby ketika seseorang telah menginternalisasikan sebuah ideologi dalam dirinya, ia tidak akan mampu untuk menyimpannya. Bahkan Ideologi itu akan mendorong para penganutnya untuk mendakwahkannya. Kegiatan mereka akan senantiasa mengikuti ideologi itu, yakni berjalan sesuai dengan manhajnya, dan terikat dengan batasannya. Keberadaan mereka pun akhirnya didedikasikan hanya demi ideologi, demi dakwah kepada ideologi itu, dan untuk melakukan tugas-tugas yang ditetapkannya. Dakwah ini bertujuan agar manusia meyakini ideologi itu saja –bukan ideologi yang lain– dan bertujuan mewujudkan kesadaran umum terhadap ideologi tersebut.
Selengkapnya...

Soekarno-Hatta, Pendiri Sekularisme Indonesia


Berbagai permasalahan yang terjadi pada umat Islam Indonesia dewasa ini, seperti berkembangnya paham sesat Ahmadiyah di tubuh umat Islam, maraknya orang yang mengaku sebagai nabi baru dan pendiri agama baru sempalan Islam, berkembangnya paham sesat pluralisme dan liberalisme yang kebanyakan diusung anak-anak muda berlatar belakang pendidikan agama, susahnya menggolkan RUU APP yang notabene untuk menjaga moral bangsa Indonesia, disintegrasi bangsa serta berbagai keterpurukan umat Islam di segala bidang dapat kita katakan penyebab utamanya adalah paham sekularisme yang menjadi asas berdirinya negara ini.

Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship" (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan) atau sebagai: "The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education" (Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik) (Lihat M. Shiddiq Al-Jawi, tt, Mengapa Kita Menolak Sekularisme?). Dari definisi ini jelas, paham sekularisme adalah paham yang mengusung gagasan fashluddin ‘anil hayah (pemisahan agama dengan kehidupan) yang berarti Islam tak boleh campur tangan sama sekali terhadap aturan-aturan bermasyarakat dan bernegara. Konsekuensinya, Indonesia yang menganut falsafah ini meniscayakan negara tersebut untuk meninggalkan sama sekali ajaran Islam sebagai bagian integral pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Konsep negara Indonesia yang sekuler sebenarnya bukanlah digali dari falsafah hidup bangsa Indonesia. Gagasan ini bahkan tak pernah dikenal dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Sejak Indonesia meninggalkan fase prasejarah dengan ditemukannya prasasti di Kalimantan pada abad ke-4 M, kerajaan-kerajaan di Indonesia kemudian secara bergantian menggunakan ajaran Hindu dan Budha sebagai falsafah kehidupan kerajaan nusantara. Bahkan sejak masuknya Islam di Indonesia pada abad ke-7 M, institusi kerajaan nusantara secara bertahap berganti baju menjadi kesultanan Islam yang menjadikan Syariah Islam sebagai asas bernegara dan baru berakhir pada awal abad ke-20 M (Lihat Booklet HTI, 2007, Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia). Konsep Indonesia sekuler baru melembaga dengan berdirinya Budi Utomo pada 1908 dan semakin diperkuat dengan Sumpah Pemuda oleh berbagai kelompok pemuda pada 1928 yang sama sekali tak memasukkan Islam dalam isi sumpahnya.

Gagasan Indonesia sekuler yang diselubungi dengan gagasan nasionalisme merupakan gagasan yang diusung oleh anak-anak bangsa yang mengecap pendidikan sekuler barat dan kemudian silau dengan gaya kehidupan barat yang sekuler. Maraknya pengusung ideologi sekularisme ini di Indonesia sejak awal abad ke-20 M, bukanlah tanpa perlawanan dari anak bangsa yang masih menginginkan Islam –yang sudah sejak turun-temurun menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia– tetap menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia dan menjadi asas negara Indonesia yang kelak akan didirikan. Lahirnya Jong Islamiten Bond (JIB) yang berasal dari pecahan Jong Java pada 1924 bisa dikatakan sebagai awal dari pertentangan antara kelompok pro Islam dengan kelompok pro sekuler (Lihat Mohammad Roem, 1977, Bunga Rampai Sejarah (II) hal. 90 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 68).

Dan sebagaimana lazimnya sebuah ideologi, ia hanya akan menjadi tumpukan buku dan literatur di rak-rak perpustakaan dan tak akan menghasilkan apa-apa jika tak ada yang mengusungnya serta menjadikannya sebuah dasar bagi sebuah kelompok atau negara. Dan ideologi sekularisme yang berkembang pada masa pergerakan kebangsaan Indonesia menemukan bentuk utuhnya setelah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tahun 1945. Tanpa menafikan kontribusi tokoh-tokoh lain dalam mengusung gagasan Indonesia yang sekuler, tak bisa dipungkiri tokoh dwitunggal Soekarno dan Hatta lah yang paling bertanggung jawab terhadap menancapnya ideologi ini dalam negara Indonesia.

Soekarno, sang proklamator, dikenal sebagai pengagum berat bapak sekularisme Turki, Mustafa Kemal Pasha. Kekagumannya terhadap sang tokoh terlihat dari gagasan-gagasannya tentang konsep bernegara yang banyak mengambil dari Kemal Pasha. Soekarno pernah mengutip pernyataan Kemal Pasha tentang pemisahan agama dan negara, “Jangan marah, kita bukan melempar agama kita, kita cuma menyerahkan agama kembali ke tangan rakyat kembali, lepas dari urusan negara supaya agama dapat menjadi subur”. Dengan mengutip pernyataan ini, Soekarno ingin membenarkan pendapatnya yang meninggalkan agama dalam kehidupan bernegara Indonesia. Ia ingin menyesatkan pemahaman umat Islam Indonesia, bahwa dalam negara Indonesia yang sekuler Islam akan tumbuh lebih baik, sesuatu yang sebenarnya tak pernah dibuktikan oleh Kemal Pasha sendiri di Turki.

Soekarno benar-benar serius mewacanakan gagasan Indonesia yang sekuler lewat diskusi-diskusi dan tulisan-tulisannya bertahun-tahun sebelum RI diproklamasikan. Tercatat beberapa tulisan Soekarno yang ingin menyingkirkan Islam dalam ranah kehidupan bernegara seperti: Memudakan Pengertian Islam, Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara, Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara, Islam Sontoloyo, dan lain sebagainya (Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 70). Walaupun argumentasi-argumentasi Soekarno mampu dipatahkan oleh M. Natsir, tapi sepertinya Soekarno tak bergeming dan tetap mewacanakan gagasan tersebut. Dan gagasan sekularisme Indonesia ini benar-benar terwujud setelah Indonesia diproklamasikan dan Soekarno dipilih menjadi presiden pertama RI. Sebelumnya bahkan upaya ini telah menjadi bahan perdebatan yang hangat di sidang BPUPKI dan PPKI (Suratno, 2006, Islam dan Pancasila, Menegaskan Kembali Peran Islam di Negara Pancasila).

Setali tiga uang, pasangan dwitunggal Soekarno yaitu Mohammad Hatta ternyata juga pengagum berat gagasan sekularisme. Hatta merupakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap hilangnya 7 kata dalam Piagam Jakarta. Sehari setelah proklamasi, kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang tercantum dalam Piagam Jakarta diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan alasan ada keberatan dari masyarakat Indonesia Timur yang non Muslim terhadap kata-kata tersebut. Info itu disampaikan oleh Hatta dalam sidang PPKI dengan menyatakan bahwa dia mendapatkannya dari seorang Kaigun Jepang (Lihat Mohammad Hatta, 1982, Sekitar Proklamasi hal. 60 dalam Dhorurudin Mashad, Jurnal Al-Insan No 1 Vol 3, 2008, Soekarno vs Natsir: Dialog Kritis Agama dan Negara hal 69).

Setelah kita mengetahui hal ini, telah jelas bagi kita siapa yang menggagas negara Indonesia yang sekuler. Dan juga sangat jelas bagi kita, sekularisme bukan berakar dari budaya dan falsafah hidup bangsa Indonesia melainkan hanya imajinasi dari segelintir tokoh pergerakan Indonesia yang terlalu silau dengan sekularisme Barat, yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.
Selengkapnya...

Penyebab Utama Umat Islam Tak Bisa Bersatu


Persatuan umat Islam sepertinya sekarang masih berupa mimpi. Walaupun begitu banyak ulama dan anasir umat Islam yang menginginkan terwujudnya persatuan umat Islam, tapi ternyata tak jarang juga apa yang mereka lakukan melanggengkan perpecahan umat ini. Sepertinya kita masih harus sering mentadabburi firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 103. Kita mungkin sudah sering membaca ayat tersebut, tapi kita seakan-akan tak pernah mengerti semangat dari ayat ini.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah SWT dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103).

Secara garis besar, paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan umat ini susah bersatu. Yang pertama adalah fanatisme mazhab dan kelompok secara berlebihan. Sikap ini kemudian menjadikan kita memiliki sikap yang tidak proporsional, sikap ingin menang sendiri, merasa pendapat mazhab atau kelompoknya paling dan pasti benar sedangkan pendapat mazhab atau kelompok lain pasti salah. Yang terjadi kemudian adalah saling menghujat, melecehkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan semua pendapat yang berbeda dengan pendapat mazhab atau kelompoknya.

Ada tulisan menarik dalam sebuah kata pengantar buku fiqh yang menganut mazhab tertentu karangan ulama Indonesia. Dalam kata pengantar tersebut disebutkan bahwa salah satu penyebab perpecahan umat Islam di nusantara adalah karena masuknya paham atau mazhab fiqh baru di Indonesia yang berbeda dengan mainstream mazhab fiqh nusantara. Beliau menyatakan bahwa hal ini berbahaya bagi persatuan dan kesatuan umat sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan eksistensi mazhab yang sudah ada dan mencegah menyebarluasnya mazhab baru atau kelompok yang tidak terikat dengan mazhab tertentu. Hasil dari pemahaman ini adalah, perdebatan panjang berpuluh-puluh tahun, hanya dalam permasalahan khilafiyah, sedangkan masalah-masalah umat lain yang lebih asasi malah terlupakan.

Sikap fanatisme berlebihan ini jelas tidak meneladani sikap Salafus Shalih. Perbedaan pendapat sudah terjadi pada masa Shahabat, kemudian tradisi perbedaan ini terus terjadi pada generasi-generasi Salafus Shalih berikutnya. Tapi, tak ada satupun dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan kalangan ulama klasik yang menjadikan perbedaan pendapat untuk menghujat dan mengkafirkan pendapat lain. Perbedaan pendapat diantara mereka hanya terbatas pada kajian-kajian dan tak sampai menyebabkan perpecahan umat. Mereka punya prinsip, selama masih dalam perkara furu’ dan khilafiyah tak seharusnya perbedaan pendapat mengakibatkan permusuhan. Indah sekali prinsip mereka yang menyatakan bahwa pendapatku adalah benar tapi masih terbuka kemungkinan salah sedangkan pendapat yang lain adalah salah tapi punya kemungkinan benar. Mereka baru bersikap intoleran jika perbedaan yang terjadi adalah dalam masalah ushul seperti terhadap kelompok yang punya Nabi baru atau kelompok yang ingkar terhadap ayat-ayat Qath’i.

Penyebab kedua susahnya mewujudkan persatuan umat adalah tumbuh kembangnya wabah nasionalisme. Nasionalisme merupakan suatu ikatan untuk mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai sebuah “bangsa” (M. Shiddiq Al-Jawi. 2005. Membuang Nasionalisme Ke Tempat Sampah). Kata “bangsa” sengaja diberi tanda kutip, karena memiliki makna yang tak baku bahkan bersifat imajiner. Contohnya adalah, dulu warga Timor Leste dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tetapi setelah merdeka mereka tak lagi menjadi bangsa Indonesia melainkan bangsa Timor. Andaikan Papua memisahkan diri dari NKRI, maka di Papua tak akan ada lagi bangsa Indonesia, yang ada hanya bangsa Papua.

Konsep nasionalisme juga bukanlah sesuatu yang telah ada sejak dulu kala. Istilah dan konsep nasionalisme muncul beriringan dengan terjadinya Revolusi Prancis, industrialisasi, liberalisasi dan sentimen bangsa yang berupaya menggantikan sistem feodalisme (Kurniawan. 1996. Diskursus Nasionalisme: Artefak Masa Lalu di Panggung Masa Kini). Paham nasionalisme juga tak pernah dikenal oleh umat Islam selama 10 abad. Paham ini baru masuk ke dunia Islam ketika Barat melancarkan penjajahan ke negeri-negeri Islam sejak abad ke-17 M. Bersamaan dengan penjajahan fisik, Barat dipimpin oleh Inggris dan Prancis juga menyebarkan paham nasionalisme kepada umat Islam, tujuannya jelas adalah untuk melemahkan persatuan umat Islam dan Daulah Islam yang ujung-ujungnya memecah belah umat dan melanggengkan penjajahan mereka di tanah umat Islam. Bukti keberhasilan Barat memecah belah umat Islam adalah dengan berdirinya lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) dalam dunia Islam, sesuatu yang tak pernah terjadi dalam tubuh umat Islam selama lebih dari 13 abad. Dan yang paling menyedihkan adalah, tak pernah ada upaya serius dari para pemimpin negara-negara bangsa tersebut untuk menyatukan kembali umat Islam di bawah satu bendera.

Penyebab ketiga penghambat persatuan umat Islam adalah sikap pesimisme, pasrah dengan keadaan dan keputusasaan terhadap kondisi perpecahan umat seperti sekarang. Sikap ini kemudian menjadikan banyak umat Islam yang tak lagi bersemangat untuk mewujudkan persatuan umat, mereka menganggap upaya tersebut hanyalah upaya yang sia-sia, tak akan berhasil bahkan utopis. Hal ini juga menjadikan sebagian pejuang Islam mengambil sikap pragmatis, kompromi dengan cara-cara diluar Islam yang dianggap akan lebih cepat membuahkan hasil. Realita dan kondisi empiris dijadikan tameng dan pembenaran untuk mengambil langkah pragmatis dan kompromistis tersebut, padahal hal tersebut menyimpang dari garis yang ditetapkan dien Islam. Dan sikap ini sebenarnya akan semakin menjauhkan umat Islam dari persatuannya yang hakiki.
Selengkapnya...

Konsep Keliru Desakralisasi Al-Qur'an


Berbagai upaya dilakukan oleh kelompok yang tidak senang dengan Syariah Islam untuk menghalang-halangi upaya penerapan Syariah Islam. Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah merusak sakralitas Al-Qur’an. Al-Qur’an yang menurut ijma’ umat Islam merupakan hal yang sakral karena merupakan kalamullah, tuntunan hidup bagi manusia dan tak akan pernah berubah sepanjang masa kemudian mau dirusak oleh mereka dengan konsep bahwa Al-Qur’an merupakan produk budaya, yang berarti buatan manusia atau minimal ada campur tangan manusia dalam pembentukannya.

Upaya yang jika berhasil disepakati umum akan secara otomatis menutup peluang untuk memunculkan Syariah Islam di tengah-tengah kehidupan. Kekuatan Syariah Islam yang terletak pada kekhasannya dibanding sistem lain yaitu berasal dari Allah yang lebih tahu tentang apa yang terbaik bagi manusia akan serta merta hilang. Islam yang bersumberkan Al-Qur’an adalah produk budaya, hasil karya pikiran manusia, sehingga sama saja dengan sistem sekuler yang ada sekarang. Kalau seperti itu, untuk apa kita memperjuangkan Syariah Islam?

Wacana desakralisasi Al-Qur’an semakin menguat ketika Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual Mesir, menyatakan pendapatnya bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi) sekaligus produsen budaya (muntij li ats-tsaqafah) [Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1994, edisi II dalam Adnin Armas, Kritik Terhadap Teori Al-Qur’an Abu Zayd). Pendapat ini jugalah yang kemudian diusung oleh kalangan anak muda liberal di Indonesia pengagum Nasr Hamid Abu Zayd.

Konsep yang ditawarkan Nasr Hamid Abu Zayd ini terlihat dengan sangat jelas memiliki banyak kelemahan. Kelemahan yang paling mendasar adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya dan sekaligus sebagai produsen budaya. Hal ini jelas sangat kontradiktif dan membingungkan. Al-Qur’an sebagai produsen budaya, berarti Al-Qur’an telah berhasil merubah budaya Arab Jahiliyah pada saat datangnya Islam menjadi sebuah kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam. Ini yang selama ini kita kenal dan kita pahami. Tetapi menjadi sebuah keanehan ketika Nasr Hamid juga menyatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya. Al-Qur’an sebagai produk budaya, berarti Al-Qur’an merupakan hasil cipta kebudayaan pada masa itu yaitu budaya Arab Jahiliyah. Artinya sepanjang 23 tahun turunnya Al-Qur’an, Al-Qur’an terbentuk dari realitas dan budaya bangsa Arab pada rentang waktu tersebut.

Konsep yang ditawarkan Nasr Hamid ini, kalau coba kita analisa, merupakan sebuah konsep kompromi. Nasr Hamid sebagai salah seorang pionir paham liberalisme di dunia Islam mencoba untuk melakukan desakralisasi dan delegitimasi Al-Qur’an dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah produk budaya, sehingga Al-Qur’an sangat terkait dengan kebudayaan Arab pada abad ke-7 dan sudah tidak layak pakai lagi bagi masyarakat modern abad ke-21. Tetapi kemudian konsepsi lemah yang ditawarkan Nasr Hamid ini coba untuk dibuat terkesan ilmiah dan rasional dengan mengatakan Al-Qur’an selain sebagai produk budaya juga merupakan produsen budaya. Fakta Al-Qur’an sebagai sebuah produsen budaya, yang merubah budaya bangsa Arab Jahiliyah menjadi kebudayaan Islam yang sangat tinggi, terasa begitu kuat dan dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun. Fakta ini, bagi Nasr Hamid, tentu tak bisa serta merta dinafikan kemudian diberikan tawaran yang jauh berbeda.

Konsep Al-Qur’an sebagai sebuah produk budaya, didasarkan pada pemahaman awal bahwa sebuah kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan bahasa. Keterkaitan bahasa dan budaya menjadikan Al-Qur’an yang merupakan teks bahasa (nash lughawi) kemudian juga diartikan sebagai teks manusiawi (nash insani). Walaupun Al-Qur’an merupakan teks ilahi (nash ilahi) tetapi kemudian termanusiawikan karena berada dalam ruang dan waktu tertentu. Menurut konsep ini, akulturasi Al-Qur’an sebagai teks ilahi menjadi teks manusiawi bahkan sudah terjadi pada kali pertama Rasulullah SAW membacakan teks Al-Qur’an di hadapan para Shahabat. Pemahaman Muhammad SAW atas teks mempresentasikan tahap paling awal interaksi teks dengan akal manusia, yang kemudian menjadi sebuah kebudayaan. Konsep ini jelas bertentangan dengan firman Allah sendiri: “Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian kami potong pembuluh jantungnya” (Al-Haqqah: 44 – 46). Allah juga berfirman: “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut hawa nafsunya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan” (An-Najm: 3 – 4). Dari ayat-ayat diatas Allah dengan sangat tegas telah menyatakan bahwa tidak ada sedikitpun campur tangan Muhammad SAW terhadap teks Al-Qur’an.

Fakta ini semakin diperkuat dengan fakta sirah nabawiyah, bahwa Muhammad SAW adalah Rasul yang ummi, tidak bisa baca dan tulis (Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan Shafiyurrahman Al-Mubarakfury). Fakta ini menafikan sama sekali campur tangan Muhammad SAW dalam teks Al-Qur’an yang memiliki nilai kekuatan bahasa yang sangat tinggi, yang meniscayakan pembuatnya atau minimal pihak yang turut campur dalam pembuatannya memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang bacaan dan tulisan Arab.

Kemurnian Al-Qur’an dari campur tangan manusia juga terlihat dari banyak bagian teks Al-Qur’an yang memiliki makna baru yang berbeda dari makna yang dipahami oleh bangsa Arab pada abad ke-7. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’, diubah Al-Qur’an dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Ini diubah maknanya oleh Al-Qur’an, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah (lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization - Kuala Lumpur: ISTAC, 1998, dalam Adnin Armas, Kritik Terhadap Teori Al-Qur’an Abu Zayd).

Jelas sekali, tawaran konsepsi Al-Qur’an sebagai produk budaya yang bertujuan untuk melakukan desakralisasi terhadap Al-Qur’an merupakan konsepsi yang lemah dan mengada-ada. Konsep ini juga semakin membuktikan bahwa ada upaya sistematis dari musuh-musuh Islam untuk menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam. Mereka tak sudi Islam kembali jaya dan menjadi mercusuar peradaban dunia. Sayangnya, langkah ini diikuti oleh anak-anak kaum muslim sendiri yang sangat bangga dengan label pengusung Islam liberal.
Selengkapnya...

Membendung Arabisasi Ala Abdul Moqsith Ghazali


Saya tertarik menanggapi tulisan Abdul Moqsith Ghazali di situs Islamlib.com yang berjudul Ulama Arab dan Ulama Indonesia. Sebagai seorang yang ingin bersikap objektif, saya akui tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini punya semangat positif yang harus diapresiasi yaitu bahwa tidak ada bedanya antara Arab dan ‘Ajam, tidak ada bedanya antara ulama Arab dan ulama ‘Ajam, yang membedakan satu dengan yang lain hanyalah kualitas ketaqwaan dan keilmuwannya. Saya yakin kita semua sepakat dengan hal ini.

Tapi, kita patut curiga dengan tulisan dari Abdul Moqsith Ghazali tersebut karena sepak terjangnya dan kelompok JIL-nya yang selama ini selalu berusaha menghancurkan Islam dan ajaran Islam yang mulia dari dalam. Kecurigaan ini menjadi semakin berdasar ketika kita membaca utuh tulisannya tersebut. Coba kita analisa secara sederhana beberapa kutipan tulisannya di artikel tersebut.

Sementara para ulama non-Arab dianggap pinggiran dan karya-karyanya dipandang sebelah mata. Ini, salah satunya, karena ulama non-Arab diposisikan sebagai orang `ajam (asing) yang tak cukup memadai untuk memahami detail dan seluk beluk ajaran Islam, agama yang memang pertama kali lahir di Arab. Jika orangnya dianggap `ajam, maka kitab-kitabnya pun dianggap ghair mu`tabarah (kurang absah), sehingga tak pantas menjadi referensi umat Islam.

Dari kutipan paragraf diatas, kita bisa melihat bahwa ada pernyataan yang membabi buta dari seorang Abdul Moqsith Ghazali yang seakan-akan ingin memprovokasi umat Islam Indonesia bahwa ada ketidak adilan dalam dunia Islam. Seakan-akan karya ulama non-Arab dianggap tak bermutu dan tak berguna di dunia Islam. Pernyataan ini jelas berbahaya karena akan semakin memicu perpecahan dunia Islam yang memang sekarang sudah pecah. Pernyataan ini juga ternyata tak benar-benar sesuai fakta karena ada banyak karya ulama Indonesia kontemporer yang diakui di dunia internasional, misalnya: DR. Sayyid Muhammad Aqil al-Mahdaly (Bugis) dari ‘Ain Syams, yang telah mengarang lebih 50 judul buku tentang aqidah dan filsafat dan diterbitkan oleh Darul Hadits Mesir; DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni (Bugis) dari Cairo Univ. thesis master beliau (Masail alal-I’tiqadiyah Inda al-Imam al-Qurthubi) di cetak oleh Muassasah al-’Alya Mesir th 2006. dan Thesis Ph.D (Mauqif az-Zaidiyah wa Ahli as-Sunnah Min Aqidah al-Bathiniyah wa Falsafatuha) tahun ini sedang proses cetak di Darul Kutub al-Ilmiah, Beirut. Itu baru beberapa contoh dari sekian banyak karya ulama Indonesia yang diakui dunia Islam.

Keulamaan dalam Islam makin kuat beraroma Arab-Timur Tengah. Para ilmuwan dari sana menjadi kiblat dan kitab-kitabnya serta fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat Islam yang tinggal di kawasan lain. Dahulu, Ratu Kamalat Sjah dimakzulkan sebagai Ratu Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1699), setelah ulama Mekah mengharamkan perempuan menjadi pemimpin atau ratu. Sebagian ulama nusantara pernah menolak Megawati sebagai (calon) presiden berdasar pada fatwa ulama Arab. Ketika terjadi soal atau kasus di suatu kawasan, para tokoh agama di daerah itu kerap meminta jawaban pada ulama Timur Tengah, seperti Yusuf Qardawi, Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka mentaklid pendapat-pendapat yang datang dari sana. Walhasil, Arab merupakan sumber otoritas keulamaan dan parameter kesahihan sebuah tafsir dalam Islam. Sehingga, pengembangan keilmuan Islam pun bisa efektif kalau dilakukan para ulama Arab-Timur Tengah.

Dari konstruksi tulisan Abdul Moqsith Ghazali diatas, jelas ada upaya penyesatan terhadap pemahaman umat Islam. Contoh yang digunakan untuk menunjukkan hegemoni ulama Arab atas ulama Indonesia adalah tentang keharaman perempuan sebagai penguasa. Disini Abdul Moqsith Ghazali ingin mengambil dua keuntungan sekaligus, pertama dia ingin menunjukkan bahwa selama ini kita terlalu percaya dengan ulama Arab-Timur Tengah dan sebaliknya menafikan keberadaan ulama Indonesia, dan yang kedua, dia ingin menunjukkan bahwa keharaman perempuan sebagai penguasa hanya pendapat ulama Arab yang masih sangat perlu untuk diperdebatkan. Padahal kalau kita mau menelaah kitab-kitab klasik dan kontemporer tulisan ulama seluruh dunia, bukan hanya Arab tapi juga Andalusia, India, Asia Tengah termasuk Indonesia, jelas sekali tidak ada perbedaan pendapat bahwa perempuan haram menjadi penguasa. Hanya cendekiawan keblinger yang menentang pendapat ini.

Jelas, ada motif tersembunyi dari tulisan Abdul Moqsith Ghazali ini, yaitu penentangan terhadap Islamisasi di Indonesia. Kalangan liberal, yang merupakan antek zionis, berusaha sekuat tenaga untuk membendung semakin berkembangnya Islam politik yang mengusung ide penerapan Syariah Islam secara kaffah dan persatuan asasi umat Islam. Mereka mencoba menghembuskan keburukan ide Islamisasi yang disama artikan dengan Arabisasi. Mereka menyebarkan teror bahwa dengan Islamisasi dan Arabisasi umat Islam Indonesia akan kehilangan identitasnya dan akan terpinggirkan. Mereka kemudian mencoba merusak konstruksi Syariah Islam yang sudah baku dengan mewacanakan Fiqh Indonesia, yang sangat kelihatan tak berdalil tapi tapi lebih banyak bertendensi hawa nafsu. Mereka juga mencoba meruntuhkan kewibawaan ulama Arab-Timur Tengah, salah satunya dengan tulisan Abdul Moqsith Ghazali tersebut, kemudian menawarkan ‘ulama Indonesia’ dari kalangan mereka sendiri seperti Nurcholis Madjid, Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla termasuk Abdul Moqsith Ghazali sendiri untuk dijadikan rujukan umat Islam Indonesia.
Selengkapnya...

Wacana Kebenaran Islam Pluralis


Dengan melepas klaim-klaim kebenaran dan penyelamatan yang berlebihan, mengoreksi diri tentang standar ganda yang sering kita pakai terhadap agama orang lain, dan selanjutnya memperluas pandangan inklusif mengarah kepada pandangan yang pluralis dari teologi kita sendiri, agama-agama akan mempunyai peranan penting di masa depan, dalam membangun dasar spiritualitas dan peradaban masyarakat kita. “Kita para penganut agama akan bertemu dalam the road of life (jalan kehidupan yang sama).” Kata Bhagavan Das dalam bukunya, The Essential Unity of All Religions (1966: hlm. 604). “Yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan kehausan: Semua membutuhkan roti dan air kehidupan, yang hanya bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit.

Kutipan paragraf diatas merupakan sebuah Kata Pengantar dari Budhy Munawar-Rachman dalam bukunya yang lumayan tebal: ISLAM PLURALIS, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Buku yang bermotifkan keinginan untuk membumikan ajaran Islam Pluralis di tengah masyarakat muslim Indonesia ini berisikan banyak sekali justifikasi atas keabsahan konsep pluralisme dalam Islam. Saya akan mencoba sedikit mengkritisi buku tersebut, terutama dari bagian tulisan kata pengantar yang saya kutip diatas.

Seperti sudah lazim kita ketahui, ajaran pluralisme didasarkan pada asas ketidakpercayaan terhadap wahyu Tuhan. Hampir setiap tulisan tentang pluralisme dari para pengusung ajaran tersebut berisikan kritik dan sikap skeptis terhadap teks-teks ayat suci yang telah mapan. Dan hanya dengan sikap inilah pluralisme bisa dikembangkan. Jika konsep pluralisme masih mengacu pada ayat suci semisal Al-Qur’an maka konsep tersebut akan runtuh sebelum ia sempat dibangun. Maka yang harus menjadi landasan sikap kita ketika menganalisa hasil pemikiran dari para pengusung pluralisme adalah bahwa mereka merupakan kelompok orang yang tidak mempunyai keimanan terhadap wahyu Allah sehingga setiap hasil pemikiran mereka berasaskan kekufuran.

Dari kutipan kata pengantar buku ISLAM PLURALIS diatas, dapat kita lihat beberapa kesalahan mendasar dari pemikiran mereka. Yang pertama adalah kewajiban untuk melepas klaim-klaim kebenaran dan konsep penyelamatan dari semua agama. Artinya kalau kita mau menjadi seorang muslim pluralis kita harus melepaskan keyakinan akan kebenaran agama yang kita anut. Mari kita bandingkan pemahaman ini dengan teks Al-Qur’an: “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya.” (TQS. Ali Imran: 85). Coba saja sampaikan ayat ini kepada pengusung ajaran pluralisme Islam, tentu mereka akan mengatakan bahwa ayat ini perlu ditafsirkan ulang agar sesuai dengan pemahaman mereka. Atau mungkin lebih ekstrim, mereka akan mengatakan bahwa ayat ini sebenarnya hanya merupakan tambahan yang dimasukkan oleh cendekiawan muslim klasik ke dalam mushaf.

Yang kedua, adalah tuduhan mereka bahwa muslim yang tidak mengikuti paham pluralisme menggunakan standar ganda terhadap agama orang lain. Coba kita simak kutipan dari bagian lain kata pengantar Budhy Munawar-Rachman: “Dalam soal teologi misalnya, standar yang menimbulkan kebingungan itu adalah standar bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain adalah hanya konstruksi manusia –atau mungkin juga berasal dari Tuhan, tapi telah dirusak oleh konstruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agama kita sendiri”. Secara halus, sang penulis ingin menyesatkan pemikiran umat Islam dengan pernyataan bahwa ada dua kemungkinan yang sama-sama mungkin yaitu semua agama benar atau semua agama salah. Jelas sekali pemahaman ini berbeda dengan konsep kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT. “Dan telah kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian”. (TQS Al-Maidah: 3). Ditambah dengan pernyataan Allah pada Ali Imran ayat 85 yang saya tulis diatas, jelas sekali Al-Maidah ayat 3 ini menunjukkan mafhum mukhalafah bahwa selain agama Islam tidak diridhai oleh Allah SWT.

Yang ketiga, adalah kebingungan para pengusung pluralisme tentang konsep kebenaran itu sendiri. Berbagai pernyataan dan teori yang mereka sampaikan yang kelihatannya sangat ilmiah, menunjukkan kelemahan cara berpikir mereka. Mereka hanya mampu menunjukkan kesalahan beragama para penganut agama sekarang –ini menurut klaim mereka– tapi sepertinya mereka tak pernah mampu menunjukkan kebenaran itu sendiri. Coba saja rangkai berbagai tulisan mereka kemudian kita lihat secara seksama, maka kita akan menemukan keanehan dan keganjilan dari pemikiran mereka yang disebabkan oleh kebingungan mereka. Dan itu merupakan konsekuensi wajar terhadap orang yang tak mau beriman terhadap ayat-ayat Allah SWT.
Selengkapnya...

Tak Sekedar Kesuksesan Dunia


Ada cerita menarik yang menggugah batin saya dalam buku Berani Kaya, Berani Takwa tulisan Ust. Anif Sirsaeba. Di awal buku tersebut, ust. Anif menceritakan seseorang yang kaya raya. Segala fasilitas dia punya. Segala kemewahan dunia dia raih. Mobil, rumah, anak, istri, dan lain sebagainya, dimilikinya dengan sempurna. Tapi ia pelit (bakhil) dalam arti sesungguhnya. Ia angkuh dengan kekayaannya. Seolah ia tak butuh dengan tetangganya. Apalagi dengan orang lain yang lebih jauh. Ia berpikiran bahwa uang, kekayaan, materi adalah segala-galanya. Dengan orang yang lebih miskin ia tak mau menyapa. Ada orang meminta bantuan kepadanya, ia malah menghardiknya. Apa buah yang diraihnya? Semua orang membencinya. Semua orang mendoakannya yang tidak-tidak. Bahkan, seolah telah menjadi kesepakatan umum, ia dikucilkan oleh tetangganya. Ia tidak dihormati sama sekali. Perlakuan masyarakat seperti itu akhirnya membikin dia stres, sakit, jiwanya guncang. Dan pamungkasnya, dia meninggal dalam keadaan gila dalam arti yang sesungguhnya. Na’udzubillah!

Apakah kekayaan merupakan kehinaan? Saya rasa tidak. Allah Swt sendiri telah memerintahkan kita untuk kaya. Ya, harus kaya. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa mengeluarkan zakat dan infaq fi sabilillah. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa membiayai orang-orang yang berjihad atau orang-orang yang menuntut ilmu. Kalau tidak kaya, kita tidak akan bisa melaksanakan ibadah haji. Miskin itu tidak enak. Miskin itu susah. Bahkan miskin itu mendekatkan kita pada kekufuran. Na’udzubillahi min dzalik! Rasulullah itu kaya. Dia pedagang tangguh dan ulung. Khadijah istrinya adalah enterpreneur paling sukses dan paling kaya saat itu. Kalau begitu, mengapa kekayaan bisa menghinakan, bahkan membuat pemiliknya meninggal dalam keadaan gila?

Ternyata ada kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh orang yang diceritakan ust. Anif Sirsaeba tersebut. Dia mencari kekayaan agar dihormati dan dihargai oleh orang lain. Ia berpikir hanya dengan kekayaanlah ia bisa dihormati. Inilah pemahaman keliru, yang menyebabkan dia terhina di dunia dan mungkin juga di akhirat.

Apakah fenomena ini hanya berlaku bagi pencari kekayaan. Saya rasa ini hanya salah satu contoh. Contoh, bahwa motivasi yang keliru bisa menghancurkan segalanya. Kekayaan yang telah dirintis berpuluh tahun, ternyata tak menghasilkan kebahagiaan dalam arti sesungguhnya di dunia dan akhirat. Kekayaan tersebut ternyata malah menyebabkan hidup pemiliknya tak tenang dan bahkan meninggal dalam keadaan gila. Kekayaan, yang seharusnya untuk mempermudah diri mencapai derajat takwa, ternyata dicari untuk mendapatkan kehormatan dan penghargaan manusia. Sebuah kekeliruan motivasi. Dan ini bukan hanya pada kekayaan materi, ini juga terjadi pada ilmu.

Ilmu yang dituntut para pencari ilmu, akan mampu membawa orang pada derajat tertinggi di dunia dan di akhirat. Tapi, ilmu juga bisa menjatuhkan para pencari dan pemiliknya pada tingkat kehinaan tertinggi di sisi Allah. Lagi-lagi, karena motivasi. Ilmu yang digunakan untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat bagi sebanyak-banyaknya orang, akan menyebabkan pemiliknya mencapai derajat takwa. Sedangkan, ilmu yang digunakan untuk meraih ridha manusia, mengharap penghormatan dan penghargaan dari orang lain akan mengakibatkan kehinaan bagi pemiliknya. Ilmu yang dimilikinya tak bermanfaat, kecuali menambah jauh dari Allah Swt. Bukan kemuliaan yang didapatkannya, tapi kehinaan di sisi manusia dan di sisi Allah Swt. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik!
Selengkapnya...

Dakwah Para Pewaris Nabi


Ketika umat Islam sudah tak kenal lagi agamanya, ketika ajaran Islam sudah tak diindahkan lagi, ketika Syariah Islam dicampakkan di tempat sampah, kita butuh dakwah. Dakwah yang akan mengembalikan kesadaran umat Islam akan pentingnya menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai petunjuk hidup. Dakwah yang akan membuka mata dunia bahwa hanya pada Islam lah terdapat kebahagiaan sejati dan keselamatan. Dakwah yang bertujuan untuk mengembalikan kehidupan Islam seperti kehidupan pada masa Rasulullah SAW dan para Shahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Dakwah merupakan aktivitas yang teramat mulia, bahkan pekerjaan yang paling mulia. Aktivitas ini merupakan aktivitas utama para Nabi dan Rasul di setiap zaman, dan adakah manusia yang lebih baik daripada para Nabi dan Rasul? Sebuah keniscayaan, setiap orang yang meneladani aktivitas para Nabi dan Rasul tersebut tentu juga akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Tapi, apakah setiap orang yang berdakwah akan mendapatkan kemuliaan seperti para Nabi dan Rasul? Apakah setiap orang yang menyandang status pengemban dakwah berarti mereka adalah orang yang mulia?

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada (agama) Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata sesungguhnya aku ini termasuk golongan orang-orang muslimin.” [QS. Fushshilat: 33]. Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan kemuliaan para pengemban dakwah. Betapa tidak, dengan sebuah pertanyaan retoris, Allah menyatakan bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dari pada kata-kata dakwah. Luar biasa. Berarti secara otomatis, setiap pengemban dakwah adalah orang mulia yang melakukan pekerjaan besar dan terbaik di sisi Allah. Iya kan?

Dalam kitab Riyadush Shalihin yang sangat terkenal itu, terdapat hadits yang juga sangat dikenal dan dicantumkan di urutan pertama kitab kumpulan Hadits tersebut. Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang jalur sanadnya sampai pada Rasulullah melalui Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, menyatakan bahwa setiap amal (tentu yang dimaksud adalah semua amal yang baik) akan mendapatkan nilai di sisi Allah tergantung dari niat pelakunya. Jika amal tersebut diniatkan untuk mengharapkan Ridha Allah, maka pelakunya akan mendapatkan Ridha Allah dan surga-Nya di akhirat kelak. Tapi, jika amal tersebut diniatkan karena selain Allah, maka jangan pernah berharap mampu melihat wajah Allah di surga kelak. Amal yang dimaksud hadits ini bersifat umum, termasuk amal dakwah.

Para pengemban dakwah pun juga terkena kewajiban untuk ikhlas dalam amal dakwahnya. Tidak boleh berdakwah, kecuali dengan niat mengharapkan Ridha Allah. Rasanya ini sudah sangat dipahami oleh semua da’i. Setiap da’i tentu telah tahu bahwa dalam setiap amalnya dia harus ikhlas. Tapi, begitu mudahkah sifat ikhlas tersebut mengikuti amal dakwah?

Pernah terdengar satu kalimat yang diucapkan oleh seorang yang menyandang status pengemban dakwah. Dan rasanya kalimat ini perlu ditelaah kembali kebenarannya. Aktivitas dakwah ini ternyata memang mengharuskan keikhlasan, bahkan kita susah untuk tidak ikhlas. Bahkan kita susah untuk tidak ikhlas, inilah kalimat tersebut. Benarkah dalam aktivitas dakwahnya, setiap pengemban dakwah susah untuk tidak ikhlas? Berarti mereka telah menilai bahwa mereka adalah orang yang ikhlas?

Entah seperti apa jalur periwayatan kalimat ini, yang jelas kalimat ini bukan cuma dikatakan oleh satu orang. Bahkan, kalimat ini seakan-akan merupakan sebuah slogan untuk membesarkan hati para pengemban dakwah, sebuah kalimat motivasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah kalimat ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?

Kalimat tersebut biasanya keluar dalam kondisi kelelahan dalam menjalankan aktivitas dakwah berjamaah. Kita sudah sangat paham, salah satu karakteristik dakwah berjamaah yang selama ini dipahami adalah bahwa tidak setiap pengemban dakwah harus bicara di depan umum. Berdakwah bisa dengan menjadi panitia sebuah seminar dakwah, misalnya seksi konsumsi, yang tak ada hubungannya dengan cuap-cuap di hadapan orang banyak. Biasanya juga, orang-orang yang menjadi panitia kegiatan tersebut, apalagi yang hanya menjadi anggota seksi, adalah orang yang termarjinalkan. Tidak seperti sang pembicara seminar yang mendapatkan tepuk tangan meriah plus amplop tipis, atau ketua panitia yang mendapat pujian selangit jika acara seminar berlangsung sukses, anggota seksi tak pernah mendapatkan keberuntungan tersebut. Paling baik, mendapatkan ucapan terima kasih dan terhindar dari kemarahan ketua panitia. Dalam kondisi seperti itu, mencuatlah kalimat tersebut sebagai motivasi agar tidak futur.

Kondisi lain misalnya adalah ketika seorang ketua umum lembaga dakwah, ketika menyiapkan sebuah kegiatan dakwah yang cukup besar ternyata tak mendapatkan dukungan dari yang lain. Dari menjadi ketua panitia, memimpin rapat, menjadi seksi konsumsi sampai menjadi mc harus dilakukan oleh dirinya sendiri. Akhirnya untuk menghibur diri, keluarlah kalimat tersebut dari lisannya. Pertanyaannya sekarang, dalam kondisi seperti itu, apakah ucapan tersebut benar-benar menunjukkan keikhlasannya atau sekedar untuk menutupi kekecewaan dirinya karena tak mendapatkan penghargaan yang semestinya?

Jawabannya memang tidak bisa kita tentukan, itu kembali ke masing-masing orang. Apalagi keikhlasan adalah urusan hati yang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Tapi, bahwa kalimat seperti itu benar seratus persen, sepertinya juga perlu dikoreksi. Keikhlasan tidak bisa hanya diukur dari kepasrahan (kesabaran?) seseorang ketika dalam menjalankan aktivitas dakwahnya ia tidak mendapatkan penghargaan seperti orang lain. Banyak sekali alasan yang bisa diajukan yang mungkin menjadi penyebab kepasrahan orang tersebut selain keikhlasan. Ada orang yang terpaksa menerima begitu saja keadaan dirinya karena khawatir kalau ia memberontak atau menunjukkan ketidak senangan ia akan dikucilkan dari komunitasnya, yaitu komunitas pengemban dakwah. Perlu diketahui, sangat banyak orang yang lebih takut dikucilkan dari sebuah komunitas yang ia eksis didalamnya daripada takut kehilangan harta. Dengan alasan takut dikucilkan, ia kemudian menunjukkan sikap pasrah yang kemudian dikatakan sebagai sikap ikhlas.

Sekarang, kita tilik secara umum, benarkah para pengemban dakwah sangat susah dihinggapi ketidak ikhlasan atau malah sebaliknya. Satu contoh, ada satu orang aktivis dakwah yang menjadi trainer terkenal. Setiap mengisi training ia selalu mampu menghipnotis ratusan peserta untuk menerima apa saja yang ia katakan. Imbalannya, ia mendapatkan sanjung puji dari banyak pihak. Banyak tokoh yang merekomendasikannya. Dengan kondisi seperti ini, kucuran uang juga tak terhindarkan. Pada kasus seperti ini, apakah tepat kalimat susah untuk tidak ikhlas. Dikelilingi oleh berbagai faktor yang mudah memalingkan seseorang dari keikhlasan seperti uang, sanjung puji, dan dikenal banyak orang bak selebritis apakah masih tepat kalimat bahwa pengemban dakwah susah untuk tidak ikhlas.

Dengan status sebagai trainer terkenal, kadang-kadang sang trainer tidak bersedia menjadi trainer untuk training kecil yang pesertanya mungkin masih bisa dihitung dengan jari, dengan alasan memberi kesempatan kepada yang lain. Kecurigaan wajar muncul di pikiran kita, jangan-jangan dia telah bersikap seperti artis top yang tak mau berperan di peran-peran kecil atau berperan di film kurang bermutu. Mungkin dengan alasan sama, agar status kehebatannya tak tercemar dengan menjadi trainer di kegiatan training level rendah.

Itu satu contoh. Bagaimana dengan kebanggaan seseorang memakai status kiyai haji, ustadz, motivator, ustadz gaul, dll. Apakah pengakuan orang tentang status mereka yang ingin didapatkan atau keridhaan Allah SWT. Bagaimana pula dengan orang yang menghidupi dirinya dengan aktivitas dakwah. Menjadi trainer di acara training A mendapatkan bayaran 1 juta, lima kali mengisi training dalam sebulan sudah lima juta yang didapatkan, lebih besar daripada gaji guru. Jadi imam tarawih, sekali dapat 100 ribu, bagaimana jika setiap malam dia menjadi imam tarawih, berapa fulus yang didapatkan. Belum lagi ditambah mengisi pengajian setelah shubuh dan pengajian-pengajian lainnya. Apakah dengan kondisi itu, pengemban dakwah masih susah untuk tidak ikhlas?

Ya, harus kita akui, ternyata menjadi pengemban dakwah sangat rentan dengan ketidak ikhlasan. Perubahan niat mudah sekali terjadi dengan banyaknya godaan duniawi di sekitar pengemban dakwah. Maka, mudah-mudahan kita bisa menjadi pengemban dakwah yang selalu ikhlas dalam setiap aktivitas kita dan benar-benar layak menjadi pewaris Nabi SAW.
Selengkapnya...

Perlu Lebih dari Sekedar RUU Pornografi


Dua arus besar penyikapan RUU Pornografi yang berkembang di masyarakat sekarang ini, yaitu mendukung RUU dan menolak RUU harus diimbangi dengan arus baru yang tidak terjebak pada ekstrim kanan dan ekstrim kiri tersebut. Menolak RUU Pornografi dengan argumen bahwa RUU tersebut akan mengekang kebebasan berekspresi individu, menghancurkan seni, arabisasi dan akan menyebabkan disintegrasi bangsa jelas tak bisa kita terima. Tapi, tidak menjadi bagian penolak RUU Pornografi yang diusung oleh kalangan LSM, budayawan sableng dan artis-artis gendeng tidak secara otomatis mengharuskan kita mendukung RUU Pornografi tersebut.

RUU Pornografi yang ada sekarang, seperti yang telah saya muat di artikel sebelumnya, jelas penuh kompromi, tidak jelas, dan tidak memberikan secercah harapan akan hilangnya industri pornografi dan pornoaksi di negeri ini. Kita perlu sebuah aturan yang lebih kuat, yang lebih tegas, yang tak kenal kompromi untuk menghilangkan sama sekali atsar pornografi dan pornoaksi di bumi ini.

"Asma, sesungguhnya perempuan itu, jika telah baligh, tidak pantas untuk ditampakkan dari tubuhnya kecuali ini dan ini -sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya". Kutipan tadi merupakan sebuah hadits dari Nabi SAW yang begitu masyhur di tengah masyarakat.Hadits tersebut juga menjadi landasan yang sangat jelas terhadap batasan aurat wanita. Maka, jika kita percaya akan kebenaran Allah, seharusnya dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah lah yang kita jadikan rujukan dalam membuat peraturan perundang-undangan.

Dan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, definisi yang benar dari pornografi adalah segala macam bentuk visual yang mempertunjukkan dan mempertontonkan aurat wanita. Dari pemahaman ini, sinetron televisi yang menampilkan artis-artis wanita yang berpakaian minim jelas merupakan materi pornografi dan harus dilarang peredarannya. Dan, hanya dengan aturan yang jelas seperti inilah, bangsa Indonesia bisa terbebas dari pornografi dan mampu meningkatkan martabatnya di tengah-tengah bangsa di dunia.
Selengkapnya...

RUU Pornografi Yang Penuh Kontroversi


Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Paragraf diatas merupakan bunyi Pasal 1 Ayat 1 dari RUU Pornografi yang sekarang masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat dan parlemen. Kalau kita baca sekilas saja, memang jelas terlihat ayat yang berisi definisi pornografi ini sangat membingungkan dan multi tafsir. Standar yang digunakan untuk menilai suatu bentuk visual termasuk pornografi atau tidak didasarkan pada apakah itu membangkitkan hasrat seksual atau tidak.

Jelas aneh, coba saja misalnya tunjukkan foto wanita telanjang di hadapan pria impoten tentu hasrat seksual dari pria tersebut tak akan terbangkitkan. Tapi, dihadapan pria yang punya libido tinggi, seorang wanita yang memakai cadarpun bisa membangkitkan hasrat seksual pria tersebut sekaligus membuatnya berpikir macam-macam. Lalu, dengan realita ini, apakah bisa dikatakan foto wanita telanjang bukan bagian dari pornografi karena tak membangkitkan hasrat seksual, sedangkan wanita bercadar merupakan bentuk pornografi karena membuat seorang pria berimajinasi seksual?

Mungkin ada pihak yang akan menjawab bahwa yang menjadi ukuran adalah bangkitnya hasrat seksual bagi pria normal. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apa standar pria normal tersebut, apa seperti Ryan 'Sang Penjagal' atau seperti apa?

Standar lain yang juga tidak jelas dalam ayat diatas adalah mengukur pornografi dengan pelanggarannya terhadap nilai-nilai kesusilaan di tengah-tengah masyarakat. Jelas ini semakin aneh. Ukuran pornografi tidak akan sama antara masyarakat Aceh yang terbiasa menutup aurat dengan masyarakat Papua yang terbiasa memakai koteka yang hanya menutupi alat kelamin. Pertanyaannya, standar masyarakat mana dari Sabang sampai Merauke ini yang akan digunakan?

Selain Pasal 1 Ayat 1 diatas, terdapat ayat lain dari RUU Pornografi yang juga bermasalah. Salah satunya adalah pasal 14 yang berbunyi: Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a. Seni dan budaya; b. Adat istiadat; dan c. Ritual tradisional. Pasal ini jelas memberikan kesempatan bagi praktik pornografi secara luas di tengah masyarakat dengan alasan seni, budaya atau adat-istiadat. Semua orang tentu merasa aneh, jika sebuah materi pornografi dianggap akan merusak dan meruntuhkan martabat masyarakat, mengapa kemudian dengan alasan seni dan budaya sebuah materi pornografi boleh disebarluaskan.

Dari dua pasal diatas saja, telah menunjukkan dengan jelas bagi kita bahwa RUU Pornografi yang tengah dirancang di DPR tersebut tak akan mampu mengatasi persoalan pornografi dan pornoaksi. Alih-alih menjadi solusi, yang terjadi malah akan menambah persoalan di tengah masyarakat karena begitu banyak kontroversi.

Saya rasa kita semua sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi merupakan sampah dan racun bagi masyarakat sehingga harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Kita juga perlu memberi apresiasi positif terhadap langkah para anggota dewan yang berupaya mengatasi permasalahan pornografi dan pornografi di Indonesia. Tapi, kita juga wajib mengoreksi setiap rancangan undang-undang yang mereka susun agar tidak salah langkah dan salah jalan. Kita ingin agar peraturan yang dibuat nanti benar-benar mampu menghilangkan unsur pornografi dan pornoaksi dengan motif apapun.
Selengkapnya...

 

Hizbut Tahrir Indonesia

INSISTS Official Site

Jurnal Ekonomi Ideologis